Apa itu dugderan?
Nama Dugderan ialah onomatope (menirukan suara-suara dari sumber bunyi) letusan mercon. Kata “dug” berasal dari suara bedug yang ditabuh, kalau suara “der” merupakan bunyi dari mercon yang memeriahkan budaya adat istiadat kebiasaan ini.
Salah satu hal yang menjadi ciri khas dari Dugderan yaitu Warak Ngendhog, yakni makhluk rekaan atau buatan yang menjadi penyatuan kebudayaan dari macam-macam etnis di Semarang. Tubuhnya berbentuk unta yang berasal dari Arab, kepala naga dari kebudayaan Cina, dan empat kaki kambing dari adat istiadat etnis Jawa
Dugderan yaitu upacara adat yang berasal dari provinsi Jawa Tengah, lebih tepatnya dari Kota Semarang. Dahulu kala, mula-mula kebiasaan Dugderan itu berasal dari sebuah usul oleh Bupati atau Kyai Raden Mas Tumenggung Purbaningrat atau KRMT Purbaningrat pada saat itu. Kebiasaan dugderan ini sudah berlangsung semenjak dari tahun 1881. Dan ini mempunyai sebuah tujuan untuk menyatukan sebuah perbedaan diantara warga Semarang di era penjajahan Belanda.
Ketika itu, pemerintah kolonial Belanda membedakan golongan tiap-tiap masyarakat yang ada di Kota Semarang menjadi empat golongan, yakni:
- Pecinan (etnis Tionghoa),
- Pakojan (etnis Arab),
- Kampung Melayu (warga yang perantauan dari luar Jawa), dan
- orang asli Jawa.
Pengelompokan ini ternyaata diberi pengaruh oleh hasutan tidak sehat yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika itu, tujuannya adalah tak lain guna memecah belah persatuan antarwarga Semarang yang selama ini sudah terjalin sangat erat. ketika itu, umat Islam kerap kali mengalami perbedaan dalam sebuah usulan atau mengalami beda pendapat yang berkaitan dengan penetapan permulaan puasa atau bulan Ramadan dan hari-hari besar Islam lainnya.
Oleh karena itulah, kebiasaan Dugderan ini diadakan oleh Bupati Purbaningrat dengan tujuan untuk melebur perbedaan yang terjadi ditengah-tengah antarwarga Kota Semarang ketika itu. Untuk menyamakan sebuah persepsi di masyarakat dalam penetapan atau menetapkan dimana telah dimulainya awal Ramadan. acara ini dilaksanakan dengan cara menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan membunyikan meriam yang berlokasi di halaman kabupaten. Masing-masing dibunyikan sekitar tiga kali dan setelah itu dilanjutkan dengan pengumuman untuk permulaan awal puasa di Masjid Agung.
Sampai sekarang ini, dalam kebiasaan ini hingga sampai saat sekarang ini sudah menjadi adat serta sudah menjadi alat pemersatu antar warga Semarang untuk berbaur, saling tegur sapa dan saling menghormati antar sesama warga satu dengan yang lainnya tanpa melihat perbedaan diantara mereka.
Rute pengarakan Dugderan tahun 2022
Pemerintah semarang dalam hal ini untuk menjaga dan merapwat tradisi Dugderan tahun 2022 ini untuk diadakan secara sederhana tanpa kehilangan momen dan harus secara wajib mengikuti protokol kesehatan, sedangkan rute dugderan yang akan dilalui antara lain, start diawali dari Balai Kota Semarang - lalu menuju Masjid Agung Kota Semarang, dan setelah usai atau sudah finish di Masjid Agung Jawa Tengah. Diperkirakan kegiatan kirab budaya ini akan berlangsung dari pukul 10.00 WIB. Jika belum dapat hadir, masyarakat juga bisa melihat dan mengikuti secara online atau virtual di chanel YouTube Semarang Pemkot.
Diberitakan dari website resmi kemdikbud.go.id Dugderan sendiri adalah sebuah budaya atau tradisi yang bertumbuh kembang di warga masyarakat di Kota Semarang yang bertujuan dalam rangka menandai permulaan akan dimulainya ibadah puasa di bulan Ramadan.
Hewan mitologi dalam tradisi Dugderan
Untuk diketahui pada jaman dahulu untuk perayaan Dugderan diadakan di wilayah Simpang Lima. dan pertama kali digelar sekitar tahun 1862-1881 oleh Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Warak ngendog merupakan binatang atau hewan mitologi yang menjadi simbol dalam kerukunan tiga etnis di Semarang. Warak mengambil bentuk atau wujud buraq dengan kepala naga dan berkaki empat seperti binatang kambing yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan tiga etnis yang ada di Semarang yakni Arab, Cina, dan Jawa. Bersama dengan Tugu Muda dan Lawang Sewu, Warak Ngendog sudah menjadi salah satu ikon di Kota Semarang.
Makna kata warak berasal dari Bahasa Arab yang berarti suci, dan ngendog berasal dari Bahasa Jawa berarti bertelor atau bertelur. Secara filosofis bisa dimaknai sebagai ajakan untuk menjaga kesucian diri di Bulan penuh berkat atau ramadhan yang akan berlangsung, supaya memperoleh kemenangan besar di akhir bulan atau sampai puasa selesai.
Berdasarkan mitos yang beredar di tengah-tengah kehidupan masyarakat, warak ngendog telah lama ada di tengah masyarakat semenjak Ki Ageng Pandan Arang atau juga dikenal sebagai nama Raden Pandanaran mendirikan Kota Semarang. Raden Pandanaran merupakan anak dari Pangeran Suryo Panembahan Sabrang Lor yang menjadi sultan kedua di Sebuah Kerajaan Demak, Jawa tengah.
Makna dan pesan tradisi Dugderan untuk generasi sekarang
Adat istiadat dan tradisi Dugderan mempunyai makna khusus bagi Wali Kota Semarang. Berdasarkan cerita dari Pak Wali Kota Semarang sapaan akrab Hendrar Prihadi menerangkan bahwa rencana tahunan Kota Semarang dalam rangka untuk menyambut bulan puasa Ramadan itu dapat mengajari arti sebuah toleransi sejak anak-anak atau sejak mulai dini.
Para anak-anak kita sudah belajar tentang seputar indahnya kebersamaan dalam keberagaman dengan lewat Dugderan,” katanya di jeda Karnaval seni budaya Dugderan di Semarang.
Sebagai generasi muda kita harus bangga dan patut bersyukur bisa hidup ditengah-tengah bangsa yang kaya akan sejarah dan tradisi-tradisi yang sangat bernilai tinggi. Kita wajib menjaga dan merawatnya agar selalu ada, dan menjadi tanggung jawab kita semua. Selain itu, agar anak dan cucu kita nanti bisa melihat dan mengetahui dikemudian hari bahwa betapa kaya dan besarnya bangsa ini.